KODIFIKASI HADITS, Berikut Sejarah Dan Perkembangannya

KODIFIKASI HADITS: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA

Penghimpunan Hadits pada Abad ke II

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin AbdulAziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah yakni tahun datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari bani Umayyah yang sangat terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang khalifah Rasyidin yang kelima. 

Literatur hadits dalam islam adalah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan keputusan Nabi muhammad, inilah definisi ortodoks resmi yang diberikan oleh teolog- teolog muslim sepanjang jaman, mula-mula hadits di hafalkan, dan secara lisan disampaikan dari generasi ke generasi, sampai pada abad pertama hijria, hadits ditulis dalam kitab-kitab hadits. 

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits yang semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin haits-hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi dari para penghapalnya yang masih hidup.

Pada100 H Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah, AbuBakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada penghafal. Selain itu juga Beliau menginstruksikan kepada seluruh gubernur yang berada diwilayah Negeri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan “Lihatlah hadits Rasulullah, kemudian himpunlahia”. 

Demikian juga isi surat beliau yang dikirim kepada Ibnu Hazm (117 H) “Tulislah kepadaku apa yang tetap kepadamu dari hadits Rosulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangny ilmu dan wafatnya para ulama”.

Semua ulama besar yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli-ahli abad yang kedua Hijrah. Himpunan- himpunan ini, bersama dengan revisi dan ulasannya, membentuk literatur hadits.

Kita menyesali kitab Az Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui dimana sekarang ini.

Kitab yang paling tua yang ada di ummat islam dewasa ini, ialah Al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. yang disuruh susun oleh khalifah Al Manshur diketika dia pergi naik hajji pada tahun 144 H (143 H).

As Suyuthy berkata dalam kitab Tarikhul Khuafa: Dalam tahun 143 H bangunlah Ulama Islam mulai membukukan hadits, fiqh dan tafsir, diantaranya:

  1. Di Makkah  : Ibnu Juraij.
  2. Di Madinah : Imam Malik.
  3. Di Syam      : Al Auza’y (88 H = 707 M – 157 H = 773 M).
  4. Di Bashrah  : Ibnu Abi Arubah (156 H =733 M) dan Hammad (167 H = 789 M).
  5. Di Yaman   : Ma’mar Al Azdy.
  6. Di Kufah    : Sufyan Ats Tsaaury.

Ibnu Ishaq menyusun kitab Al Maghazi wal Sujar (hadits-hadits yang mengenal sirah Rasul SAW). Kitab Al Maghazi ini adalah dasar-dasar pokok bagi kitab-kitab Sirah Nabi. Kitab yang mendapat perhatian para ulama dari masa ke masa, dari kitab-kitab itu hanyalah Al Muwaththa’saja dan Al Maghazi dalam urusan Siratun Nabawi.                                                              

Penghimpunan pada Abad ke III                              

Para ahli pada abad kedua, sebagaimana telah diterangkan, tidak mengasingkan hadits dari fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Keadaan ini diperbaiki oleh ahli pada abad ketiga. Para ahli abad ketiga bangkit mengumpulkan hadits , mereka mengasingkan dari fatwa-fatwa itu.

Periode abad ketiga hijriah ini disebut masa kejayaan Sunnah karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa dan perkembangan yang signifikan.  Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, mereka tidak memisah-misahkan hadits.

Yakni, mereka mencampur adukkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Semua hadits mereka terima dan tidak menerangkan keshahihannya atau kehasanannya atau kedla’ifannya. Lantaran itu tak dapatlah orang yang kurang ahli mengambil hadits-hadits yang terbuku didalamnya.

Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu Bakr ibn Hazm membukukan hadits saja mengingat perkataan ‘Umar kepadanya yang artinya: “Jangan anda terima melainkan hadits Rasulullah ”.

Maka dimulai mengumpulkan hadits yang hanya mengenai satu sebab saja, ialah Asy Sya’by. Beliau telah mengumpulkan hadits-hadits yang mengenai talaq. Beliau adalah seorang Imam yang terkemuka dalam permulaan abad kedua hijrah dan mereka menyusun itu secara musnad.

Ulama hadist dalam abad kedua dan ketiga, digelari “mutaqaddimin”, yang mengumpulkan hadist dengan usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan cara menemui para penghafal hadist yang tersebar diberbagai pelosok dan penjuru negara ‘Arab,persi dan lain-iainnnya.

Penghimpunan pada Abad ke IV

Setelah abad keempat berlalu, bangkitlah ulama-ulama abad keempat. Ahli abad keempat ini dan seterusnya digelari  “mutaakhkhirin”. Kebanyakan hadist yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab- kitab mutaqaddimin, sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri dengan mendatangi penghafalnya.

Ahli hadist sesudah abad ketiga tidak banyak lagi yang mentakhrijkan hadist, mereka hanya berusaha mentahdzibkan kitab-kitab yang telah ada, mereka menghafal dan memeriksa sanad dalam kitab-kitab yang telah ada, dalam abad keempat ini lahirlah fikiran yang mencukupi dalam meriwayatkan hadist dengan berpegang pada kitab yang ada saja, tidak melawat kesana-sini lagi. Menurut riwayat, ibnu mandah, adalah ulama terakhir yang mengumpulkan hadist dengan jalan lawatan.

Periode keempat hijriyah ini mengalami peningkatan dan paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits atau dari hadits Nabi dari perkataan sahabat dan telah mengadakan filterisasi atau penyaringan yang sangat teliti, sehingga bisa memisahkan hadits mana  yang shahih dan yang tidak shahih.

Seorang tabi’in yang meriwayatkan sabda Nabi, berkewajiban menyebutkan nama sahabat yang didengarnya meyampaikan dari nabi tersebut, kalau dia tidak dapat melakukan demikian, maka hadits tersebut tertolak atau tadlis, bila hadits dengan isnad dan sanadnya menimbulkan keragu- raguan apakah satu atau lebih perawinya  dapat dipercaya atau tidak, secara otomatis tertolak.

Pada  fase  ini,  para  ulama  hadits  abad  IV  H.  berlomba  menghafal  hadit-hadits  yang  sudah dibukukan  oleh  para  ulama  terdahulu  dengan  sanadnya serta  meneliti  kesahihannya.  Kitab-kitab yang terkenal pada fase ini, seperti; Mu’jam-mu’jamnya Imam at Thabrany, Sunan Abi Daud, Sohih Abi Awanah, Sohih Ibnu Khuzaim.

Penelitian seksama terhadap isnad hadits keliahatannya perlu, karena para pengikut partai partai politik yang menyerukan inovasi teologis dan membenci syariat islam, telah  mengetahui bahwa suatu sabda yang di sebut berasal dari Nabi atau seorang Sahabat, dapat berpengaruh terhadap lawannya. Pada gilirannya, para inovasi teologis mengemukakan kata-kata yang berasal dari Nabi untuk memperkuat klaim klaim mereka sendiri. Dan juga kelompok lain yang mereka reka hadits.

Hampir seluruh hadits telah terhimpun kedalam buku, hanya sebagian kecil saja dari hadits yang belum terhimpun. Karena itu, pada periode ini juga disebut masa kodifikasi dan filterisasi. Ulama hadist bertingkat-tingkat kedudukannya di dalam menghafal, di antara mereka ada yang dapat menghafal 100. 000 hadist, yang karena itu mereka di namai “hafidh “ ada yang dapat menghafal 300.000 hadist yang mendapat nama “ hujjah”, sedangkan yang lebih dari jumlah itu digelari “hakim”.

Adapun Al bukhary, Muslim, Ahmad, Sufyan Ats Tsaury dan Ishaq ibnu Rahawaih dikalangan mutaqaddimin dan Ad Daraquthny dikalangan mutakhkhirin digelari “ Amirul-mu’minin fi’l-haadist ”

Dengan usaha-usaha  Al bukhary, Muslim dan Imam hadist lainnya yang berada  di seluruh ahli abad ketiga, terkumpullah jumlah yang sangat besar dari hadist-hadist yang shohih. Sedikit sekali hadist- hadist shahih yang tidak terkumpul dalam kitab-kitab ahli hadist abad ketiga, yang diusahakan mengumpulkannya oleh ahli hadis pada abad keempt. 

Kitab hadist- hadist shahih yang tidak terdapat pada kitab-kitab shahih abad ketiga diantara nya:

  1. Ash shahih, susunan Ibnu kuzaimah.
  2. At Taqsim wal anwa, sunan Ibnu hibban.
  3. Al Mustadrak, susunan Al Hakim.
  4.  Al shahih, susunan Abu ‘awana
  5. Al Muntaqa, susunan Ibnul jarud
  6. Al Mukhtarah, susunan Muhammad ibn Abdul Wahid Al Maqdisi

Akan tetapi kitab yang tiga buah ini tidak sama derajadnya, yang tertinggi dari ketiga kitab itu ialah: Shahih Ibnu Khuzaimah. Dibawahnya Ibnu hibban dan dibawahnya lagi shahih al hakim. Kemudian perlu diketahui bahwa hadist yang dishahihkan oleh ibnu hibban sendiri, tak dapat terus langsung diterima, karena beliau di pengaruhi oleh sifat bermudah-mudah dalam menshahihkan hadist.

Demikian halnya dengan hadist-hadist yang di tashhihkan oleh Al hakim hendaknya diperiksa lebih dahulu tentang keshahihhannya, Adz Dzahaby, seorang imam hadist yang mengoreksi dengan teliti hadist-hadist yang ditashhihkan oleh Al hakim, maka pergunanakanlah kitab Adz Dzahaby dalam berhujjah dengan hadist-hadist Al hakim ini. dalam kitab enam ini kita memperoleh hadist-hadist shahih yang tidak terdapat dalam kitab- kitab shohih yang disusun oleh ahli Abad ke tiga.

Cara Menyusun Kitab Hadist, 

Ada empat cara penyusunan kitab- kitab hadist diantaranya:

  1. Kitab- kitab shahih dan sunnah disusun dengan dasar membagi beberapa kitab dan bab, seperti bab shalat, wudhu dan seterusnya. Maka tiap-tiap hadist yang berkaitan dengan shalat dimasukkan ke dalm bab shalat, demikian seterusnya.
  2. Kitab Musnad, disusun menurut perawi pertama, perawi yang menerima langsung dari Rasullullah SAW,
  3. Ibnu Hibban menyusun kitabnya dengan jalan membagi lima bagian: Pertama bagian suruhan, kedua bagian tegahan,ketiga bagian khabar, keempat bagian ibadat dan kelima bagian af’al ( pekerjaan ),
  4. Ada juga penyusun yang menyusun kitabnya secara kamus, memulainya dengan hadist yang berawalan A-I-U. Kemudian yang berawalan B, demikian seterusnya, seperti kitab Al Jami’ush Shaghir susunan As Sayuthy. 
  5. Masa memperbaiki susunan kitab-kitab hadist abad kedua,tiga dan empat

Az Zuhry telah memulai membina dalam pembendaharaan hadist dalam permulaan abad kedua yang kemudian secara berangsur-angsur disempurnakan oleh para ahli abad kedua,tiga dan empat, lalu pada akhir abad yang keempat selesailah pembinaan hadist, cukuplah terkumpul seluruh hadist yang diterima dari nabi Muhammad , dengan berbagai jalan. Dan terhentilah  kesungguhan yang telah diberikan oleh imam-imam hadist pada abad ketiga dan keempat, sebagaimana telah padam cahaya ijtihad.

Maka ulma- ulama abad kelima hijriah menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, seperti mengumpulkan hadist- hadist hukum dan hadist targhib dalam satu kitab dan mensyarahkannya, serta mengumpulkannya hadist yang terdapat dalam kiitab enam dan lain-lainnya dalam sebuah kitab besar.

Ringkasnya, bahwa mulai abad kelima, masuklah hadist ke zaman pembagusan susunan kitab- kitabnya, maka terdapatlah kitab-kitab syarah yang memudahkan kita memahami hadist dan kitab mukhtasar yang juga memudahkan kita memperoleh hadist, dan memudahkan memetik hadist yang di perlukan sehari - hari.

Ulama yang datang sesudah berlalu abad keempat, seluruhnya berpegang pada  apa yang telah dibukukan oleh imam hadist yang telah lalu, namun jangan  pula disangka bahwa dalam abad sebelum abad yang kelima tak ada usaha sama sekali untuk membaguskan susunan kitab hadist, atau mengumpulkan beberapa kitab dalam sebuah kitab besar, hanya saja belum seberapa di perhatikan oleh para ulama hadist.

Ulama ulama hadist dalam abad- abad tersebut, masih menitik beratkan usahanya kepada soal yang urgent, yaitu : menyaring hadist dan memeriksa sanadnya, ini memang dinilai lebih perlu dan lebih penting dari pada usaha membaguskan susunan kitab- kitab dan membaguskan teknik pembukuan hadist.

di antara usaha ulama yang terpenting dalam priode ini ialah :

Mengumpulkan hadis- hadis Al Bukhary dan Muslim dalam sebuah kitab, Mengumpulkan hadist- hadist dalam kitab enam, Mengumpulkan hadist- hadist yang terdapat dalam berbagai kitab, dan mengumpulkan hadits-hadits hukum dan menyusun kitab Atharaf.

Di antara kitab yang mengumpulkan hadits- hadits Al Bukhary dan Muslim, ialah :

Kitab Al jami’ bainash- Shahihain, oleh  isma’il ibnu Ahmad yang terkenal dngan nama ibnul furat (414 H ), oleh Muhammad ibn Nashr Al Humaidy ( 488 H) dll.

Di antara yang mengumpulkan hadits- hadits dari kitab- kitab enam, ialah :

Tajridu ‘s-Shihah, oleh razin mu’awiyah, Kitab ini disempurnakan oleh ibnul Atsir Al jazary dalam kitabnya jami’ ul ushul li Ahditsi ‘r-Rasul. Kitab ini telah disyarshkan oleh Abdu robbih ibn sulaiman yang terkenal dengan nama Al Qalyuby. Kitab ini dinamai Jami’ul Ma’qul wal Manqul, syarah Jami’ul Ushul. dll

Di antara kitab- kitab yang mengumpulkan hadits dari berbagai kitab, ialah :

Mashabihu ‘s-Sunnah oleh Al imam Husain ibn Mas’ud Al Baghawy (516 H), kitab ini telah disaring oleh Al Khathib At Tabrizy dan kitab itu dinamai Misykatul-Mashabih. Diantara yang mensyarahkan Al misykah ini, ialah Al baid lawy( 685 H), dll.

Di antara kitab- kitab yang mengupulkan kitab hadits hukum, ialah :

Muntaqal Akhbar, oleh majduddin ibn taimiyah Al harrany (652 H)  yang telah disyarahkan oleh Asy Syaukhany (1250), dalam kitabnya Nailul Authar,  As Sunanul kubra oleh Al Baihaqy (458 H), Al Ahkamus Sughra, oleh Al hafidh Abu Muhammad Abduh Haq Al Asybily ( Ibnu Kharrat ) ( 582 H). dll,

Penghimpunan Pada Abad ke V Sampai dengan Sekarang

Ulama hadits telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau disebut Mutakadimin (pendahulu). Sedangkan sesudahnya (awal abad ke-5 H) disebut Mutaakhirin.  Pada periode Mutaakhirin, tumbuh asumsi merasa cukup dengan hadits yang telah berhasil dihimpun oleh Mutakadimin.

Oleh karena itu, dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbagai negri untuk mencari hadits tetapi mereka semangat untuk memelihara apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu maka mereka saling berlomba untuk menghafal.

Pada masa abad 5 sampai 6 H  ini disebut penghimpun dan penertipan, dan di antara kegiatan pengodifikasi hadits pada periode ini adalah dalam bentuk mu’jam ( ensiklopedi ), shahih ( himpunan hadits shahih saja ), mustadrak ( susulan shahih ), sunan al-jam’u (gabungan dua atau beberapa kitab hadits ), ikhtishar ( rangkuman ), istikhraj, dan syarah (ulasan). 

Penghancuran Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh Pasukan Hulagu Khan (tahun 656 H) telah menggeser kegiatan dibidang hadits ke Mesir dan India. Banyak kitab-kitab yang beredar di tengah-tengah masyarak at Islam berasal dari usaha penerbitan yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Contoh: Ulum Al Hadits karya Al Hakim.

Cara penerimaan dan penyampaian hadits dimasa abad ke-7 mengalami pergeseran. Cara yang digunakan kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadits dari guru tersebut. Dan kadang-kadang pemberian catatan hadits dari seorang guru kepada orang yang ada didekatnya atau yang jauh, baik catatan itu dibuat sendiri oleh guru tersebut atau menyuruh orang lain.

Hingga sekarang, kegiatan yang umum adalah mempelajari kitab hadits yang telah ada, mengembangkannya dan membuat pembahasan atau juga membuat ringkasan-ringkasan terhadap kitab hadits yang telah ada. 

PENUTUP

Pada priode pemerintahan Khalifah Umar bin AbdulAziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah yakni tahun datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits.

Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang khalifah Rasyidin yang kelima.

Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin haits-hadits itu akan lenyap atau punah bersama lenyapnya atau wafatnya para penghafalnya.

Maka tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi dari para penghapalnya yang masih hidup. Pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada penghafal.

Selain itu Beliau juga menginstruksikan kepada seluruh gubernur diseluruh wilayah negri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.

“Lihatlah hadits Rasulullah, kemudian himpunlah ia”.

Demikian juga isi surat beliau yang dikirim kepada Ibnu Hazm (w 117 H) “Tulislah kepadaku apa yang tetap kepadamu dari hadits Rosulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangny ilmu dan wafatnya para ulama”.

Semua ulama besar yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli abad yang kedua Hijrah. Himpunan-himpunan ini, bersama dengan revisi-revisi dan ulasan- ulasannya, membentuk literatur hadits.

Ulama hadits telah menetapkan bahwa para ahli yang hidup sebelum abad ke-4 H atau disebut Mutakadimin (pendahulu). Sedangkan sesudahnya (awal abad ke-5 H) disebut Mutaakhirin.  Pada periode Mutaakhirin, tumbuh asumsi merasa cukup dengan hadits-hadits yang telah dihimpun oleh Mutakadimin. 

Oleh karena itu, dirasakan tidak perlu lagi dilakukan lawatan ke berbagai negri untuk mencari hadits tetapi mereka semangat untuk memelihara apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu maka mereka saling berlomba untuk menghafal.

Penghancuran Baghdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh Pasukan Hulagu Khan (tahun 656 H) telah menggeser kegiatan dibidang hadits ke Mesir dan India. Banyak kitab-kitab yang beredar di tengah-tengah masyarakat Islam berasal dari usaha penerbitan yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Contoh: Ulum Al Hadits karya Al Hakim.

Cara penerimaan dan penyampaian hadits dimasa abad ke-7 mengalami pergeseran. Cara yang digunakan kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadits dari guru tersebut.

Pemberian catatan hadits dari seorang guru kepada orang yang ada didekatnya atau yang jauh, baik catatan itu dibuat sendiri oleh guru tersebut atau menyuruh orang lain. Hingga sekarang, kegiatan yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, mengembangkannya dan membuat pembahasan-pembahasan atau juga membuat ringkasan-ringkasan terhadap kitab-kitab hadits yang telah ada. Wallahu A'lam


0 Komen-Komen:

Post a Comment