This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM

 

https://penahati-1307.blogspot.com/2019/11/kesetaraan-gender-dalam-pandangan-islam.html



 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri, ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar."   (Q.S. An-Nisaa (4) : 34)

Kesetaraan Gender Menurut  Asbabun Nuzul 

Pada suatu hari datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah Saw untuk mengadukan suatu masalah, yaitu ia ditampar mukanya oleh sang suami. Kemudian Rasulullah Saw bersabda “Suamimu itu harus diqishas (dibalas)”. 

Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke 34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishas kepada suaminya yang telah menampar mukanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang bersumber dari Al-Hasan. Dan dari sumber Ibnu Juraij dan As-Suddi: Bahwa ada seorang istri yang mengadu kepada Rasulullah Saw karena ditampar oleh suaminya (golongan Anshar) dan menuntut qishash (balas). Nabi Muhammad mengabulkan tuntutan itu.

Maka turunlah ayat “Wala ta’jal bil qur’ani min qalbi an yaqdha ilaika wahyuhu” (Thaha ayat 114) sebagai teguran kepadanya dan ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan hak suami di dalam mendidik istrinya.

Dan riwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari ‘Ali: Bahwa seorang Anshar menghadap Rasulullah Saw bersama istrinya. Istrinya berkata : “Ya Rasulallah, ia telah memukul saya sehingga berbekas di muka saya”. Maka bersabdalah Rasul Saw : “Tidaklah berhak ia berbuat demikian”. Maka turunlah ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan cara mendidik.

Tafsir   
                                                  الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karna Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”

Dengan kata lain, lelaki itu pengurus bagi wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya yang mendidiknya jika menyimpang. Dan diantara tugas melindungi dan memelihara mereka, sebagai konsekuensi dari tugas ini, kaum laki-laki diwajibkan berperang sedang kaum wanita tidak, karena perang termasuk.

Perkara perlindungan yang paling khusus, dan kaum laki-laki memperoleh bagian lebih besar dalam hal harta pusaka dari pada wanita, karna kaum lelaki berkewajiban memberi nafkah, sedangkan kaum wanita tidak.

Keutamaan atau kelebihan laki-laki terbagi menjadi dua yaitu keutamaan yang bersifat fitriy, yaitu kuasaan fisik dan kesempurnaannya di dalam kejadian, kemudian implikasinya adalah kekuatan akan dan kebenaran berpandangan dasar-dasar dan tujuan berbagai perkara, dan keutamaan yang bersifat kasbiy, yaitu kemampuannya untuk berusaha mencari rizki dan melakukan pekerjaan-pekerjaan. Oleh karena itu, kaum laki-laki dibebani memberi nafkah kepada kaum wanita dan memimpin rumah tangga.

Hal ini karna Allah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita dalam perkara kejadian, dan memberi kekuatan yang tidak diberikan oleh kaum wanita, dan melebihkan atas kaum wanita dengan kemampuan memberi nafkah dari hartanya, di dalam mahar terdapat suatu pengganti untuk menerima kepemimpinan kaum lelaki atas mereka.

Dan karna Laki-laki juga memiliki keutamaan di atas wanita. Maka sangatlah sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi wanita. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu firmannya:
                                                                   وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.’’ (Al-Baqarah: 228)

Yang dimaksud dengan Al-Qiyam ialah kepemimpinan, yakni orang dipimpin bertidak sesuai dengan kehendak yang memimpin, sebab makna Al-qiyam adalah bimbingan dan pengawasan didalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukan oleh suami dan memperhatikan segala perbuatannya. 

Sebagai contoh menjaga rumah, tidak meninggalkannya tanpa seizin suami, meskipun berziarah kepada kaum kerabat tanpa seijin suami, menentukan nafkah didalam rumah dan hanya melaksanakan ketentuan itu menurut cara yang di ridhai oleh suami dan sesuai dengan kondisi, lapang atau sempit.

Kewajiban suami dalam melindungi dan mencukupi kebutuhan istrinya sangat beragam, sesuaikan dengan kemungkinannya untuk melaksanakan tugasnya yang bersifat fitriyah, seperti mencukupi kebutuhan istri saat mereka mengadung, melahirkan dan saat mendidik anak-anaknya. Sampai ia merasa aman akan rahasia yang ada padanya, dan masalah rizki kebutuhan merasa tercukupi.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka, seorang istri diharuskan taat pada suaminya, dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta dan kehormatan suami.

Dan juga karena kaum laki-laki lebih afdhal dari pada kaum wanita, maka dari itu nubuwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. begitupun menjadi seorang pemimpin atau raja.

 Didalam sebuah hadist disebutkan:
                                                                                                                       لن يفلح فوم ولوا أمرهم امرأة
 “Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.”

Hadis riwayat Imam bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya.

                                                                                                   فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ 

“Maka perempuan-perempuan yang shaleh, adalah yang taat kepada Allah.”

Wanita-wanita yang shalihah yang taat pada suaminya dan hubungan- hubungan yang biasa, berlaku antara mereka diwaktu mereka berdua-duaan, seperti rafas (hubungan badaniyah) dan urusan-urusan khusus yang berkenaan dengan suami-istri, mereka tidak mengijinkan seorang lelakipun untuk melihat-melihat kepadanya, meski ia kerabatnya, dan lebih-lebih hendaknya memelihara kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, dan pendengaran telinga yang khianat, bertutur kata dan berbuat sesuatu sesuai fitrah muslimah yang sudah bersuami.

Firman-Nya bimaa hafizallah, berarti disebabkan Allah memerintahkan supaya memeliharanya, lalu mereka mentaatinya dan tidak mentaati hawa nafsu,

Didalam ayat ini terdapat nasihat yang agung dan penghalang bagi kaum wanita untuk menyebarkan rahasia-rahasia suami istri, dan juga kaum wanita wajib memelihara harta kaum lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dari kehilangan.

Dalam hadist yang riwayatkan oleh Ibnu jarir dan Baihaqi dari Abu Huraira ra, ia berkata: “sebaik-baik istri yang apa bila engkau memandangnya, maka ia menyenangkan mu, apa bila engkau memerintahnya maka ia mentaaatimu, dan apa bila engkau tidak berada di sisinya, maka ia akan memeliharamu terhadap hartamu dan dirinya.’’

Terhadap wanita seperti ini, lelaki tidak ada kekuasaan untuk mendidiknya, karena tidak ada hal yang mengharuskan dia memberi pendidikan padanya.

                                                                       وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُن

“Perempuan-perempuan yang kamu kawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkan mereka ditempat tidur (pisah ranjang),dan kalau perlu pukullah mereka.”

Wanita-wanita yang kamu kawatirkan Nusyuz ialah tinggi diri atau bersikap sombong dan tidak menjalankan hak suami istri menurut cara yang kalian ridhoi, maka hendaknya kalian (lelaki) memperlakukan cara-cara sebagai berikut:

Yang pertama, hendaknya kalian memberikan nasihat yang menurut pandangan kalian dapat menyentuh hati mereka, sebab di atara kaum wanita ada yang cukup diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah, di antara mereka ada yang hatinya tersentuh oleh ancaman dan peringatan akan akibat yang buruk di dunia, seperti ditahan untuk mendapat kesenangannya, misalnya pakaian,perhiasan dan sebagainya.

Yang kedua, hendaknya memisahkan diri dari tempat tidur dengan cara berpaling, adat telah berlaku, bahwa berkumpul di pembaringan dapat menggerakkan perasaan-perasaan suami istri, sehingga masing-masing keduanya terasa tenang dan hilanglah berbagai goncangan yang terjadi sebelum itu.

Perlakuan suami seperti itu akan menarik istri untuk bertanya tentang sebab-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur, tetapi jika cara itu tidak berhasil, maka suami boleh menggunakan cara berikut.

Dan yang ketiga, suami boleh memukul, asalkan pukulan itu tidak menyakiti atau melukainya, akan tetapi jika para perempuan (istri) sadar dan menjadi baik dan mau mendengarkan nasihat karena di pisahkan dari tempat tidurnya, maka hendaknya dengan cara cukup demikian, sebab kita di perintahkan berlaku lembut terhadap wanita (istri), tidak menganiaya, dan menahan mereka dengan cara yang ma’ruf atau mencerai dengan cara yang makruf pula.

Ringkasnya memukul merupakan tindakan perbaikan yang pahit yang tidak dikehendaki oleh suami yang baik dan mulia, akan tetapi tindakan ini tidak bisa dihilangkan dari kehidupan suami istri, kecuali keduanya mengetahuai akan hak-haknya, agama mempunyai peran dan pengaruh yang besar terhadap jiwa-jiwa yang menjadikannya slalu ingat kepada Allah di stiap kondisi.

Kemudian Allah menganjurkan supaaya menanam hubungan yang baik antara lelaki dan perempuan (suami istri),
                                                                                                                فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا 

“tetapi jika mereka mentaatimu,maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.” Apabila mereka mentaati kalian dengan salah satu di antara cara-cara mendidik ini, maka janganlah kamu berbuat aniaya, janganlah pula melampui batas. Mulailah dengan memberi nasihat, jika tidak cukup, maka tinggalkan dari tempat tidur, jika tidak cukup, maka pukullah, jika ketiga cara tersebut tidak berhasil, maka adakanlah tahkim, maka hal-hal lahir telah cukup menjadi bukti, maka janganlah saling mengungkit-ungkit rahasia.

                                                                                                                                إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا         
 “Sungguh, Allah maha tinggi, maha besar.” 

Allah mengingatkan hambanya akan kekuasaan-Nya atas mereka, agar mereka takut kepadanya dalam memperlakukan kaum wanita, seakan dia berfirman kepada mereka, “sesungguhnya kekuasaan-nya atas kalian melebihi kekuasaan kalian atas istri, maka jika kalian berbuat aniaya terhadap mereka, dia akan menyiksa kalian, dan jika kalian memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, niscaya dia akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian."

Tidak diragukan lagi, lelaki yang memperbudak wanita akan melahirkan budak bagi orang lain, karena mereka terdidik dengan kezhaliman dan tidak mempunyai kehormatan, sifat-sifat baik dan belas kasihan.

Kalau dalam bahasa inggris gender berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.

Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan yang mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (QS. Al-Zariyat (51) 56), laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah dibumi (QS.Al Baqarah (3) 30), laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian (QS. Al-A’raf (7) 172),

Perbedaannya Cuma dalam tugas dan penempatannya, laki-laki (suami) bertugas menjadi kepala rumah tangga (pemimpin) yang mencukupi nafkah lahir batin keluarganya dengan bekerja. 

Sedangkan istri bertugas mengatur keuangan suami, mengatur dan merawat anak-anak mereka, menjaga harta dan kehormatan suami, serta melaksanakan tugas yang setujui oleh (suaminya).

Jadi pada intinya suami, istri dan anak, sama-sama bertugas untuk menciptakan keluarga yang harmonis sesuai dengan penempatannya yang pas, yang sesuai dengan fitrahnya dan tidak keluar dari batas-batas yang di tetapkan syara’ atau hukum-hukum islam.

Walaupun lelaki mempunyai kelebihan atau keutamaan yang tidak miliki wanita, bukan berarti laki harus bersikap sombong, angkuh dan memandang rendah wanita, karna pada hakekatnya yang paling mulia sisi ALLAH ialah orang yang paling bertakwa.

Allah SWT berfirman: 
   
                يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." 

Yang membedakan keutamaan kita disisi Allah SWT adalah ketakwaan kita, bukan dari keturunan, nasab dan kedudukannya.





5 NIKMAT HIDUP BERJAMAAH_RAHMATNYA

 

5 NIKMAT HIDUP BERJAMAAH

RAHMAT ALLAH

Sebelum kita membas lebih jauh tentang berjamaah adalah rahmat, agar tidak melebar jauh pembahasan ini. maka kami akan memberi batasan, Berbicara berjamaah adalah rahmat, tentu muncul dalam benak kita beberapa pertanyaan,

1.      Apa itu jamaah..?

2.      Kenapa berjamaah itu wajib..?

3.      Apa itu rahmat..?

4.      Kenapa berjamaah adalah rahmat..?

5.      Siapa yang mendapat rahmat..?

PENGERTIAN JAMA’AH

Secara bahasa Al-Jama’ah berarti Al-Ijtima’ (kesatuan), Al-Jami’ (berkumpul dan bersama-sama) dan Al-Ijma’ (kesepakatan dan persetujuan). Sedang secara istilah Al-Jama’ah menurut Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sebuah hadist adalah:

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذي، حديث حسن)

“Orang yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (H.R. Tirmidzi, hadits Hasan)

Sedangkan arti jamaah yang kami kutip dari wikipedia, Jama’ah bisa juga dikatakan wadah. Berjama’ah itu wajib bagi umat islam karena perintah Allah yang terdapat dalam QS Ali Imran ayat 103, QS An Nisa 59, QS Fath ayat 10

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran 103)

PENGERTIAN RAHMAT

Menurut Dr Habib Abdul Rahman Al-Habsy. ada beberapa pengertian Rahmat seperti dalam Alquran. Nabi Muhammad dan mukjizatnya yaitu Al-Qur’an adalah “rahmatan lil’alamin”, atau rahmat bagi seluruh alam. Bahkan di untusnya Rasulullah adalah rahmat.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْن

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Arti lain dari rahmat adalah nikmat, bisa berupa nikmat kenabian, kemerdekaan, nikmat berjamaah, nikmat sehat, dan masuk surga, semua kenikmatan yang di ridhoi Allah adalah rahmat.

Sedang menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi, rahmat berarti:

مَعْنًى يَقُوْمُ بِالْقَلْبِ يُبْعِثُ صَاحِبَهُ عَلَى الْإِحْسَانِ إِلَى سِوَاهُ

“Perasaan jiwa yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada orang lain.”

Islam adalah satu-satunya agama yang mengajak kepada persaudaraan dan terwujudnya persatuan serta mengecam perpecahan dan perselisihan.

Maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai pembawa Risalah Islam selalu mengarahkan umatnya untuk menjaga kesatuan (Al-Jama’ah) dan menjauhi perselisihan dan perpecahan (Al-Firqah).

Terbukti dalam sejarah, para sahabat selalu mengangkat seorang pemimpin yaitu Abu bakar RA untuk menggantikan kepemimpinan islam setelah Rasullullah wafat, dan dilanjutkan Umar RA yang menjadi pemimpin umat islam setelah Abu bakar wafat, dst.

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ (رواه أحمد عن النعمان بن بشير حديث حسن)

“Al-Jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab.” (H.R. Ahmad dari Nu’man bin Basyir dengan derajat hadits Hasan)

Orang yang menetapi jamaah, mentaati Allah   dan Rasulullah serta Ulil Amri (Imam) dengan sabar dan shalat dan ibadah-ibadah lainnya.

Karena orang tersebut dapat merealisasikan atau mengamalkan ibadah-ibadah yang sukar dilakukan jika tidak dengan berjamaah.

Pertama,Berjamaah Adalah  Merealisasikan Ibadah yang Sangat Penting

Firman Allah :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ (ال عمران [٣]: ١٠٣)

“Dan berpegangteguhlah kalian kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kalian berpecah-belah,” (Q.S. Ali Imran [3]: 103)

Menurut Asy-Syaikh Dr. Abdullah Al-Muthlaq Ketika menafsirkan ayat ini berkata:

لُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ أَهَمِّ الْعِبَادَاتِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا

“Menetapi Jama’ah Muslimin adalah ibadah yang paling penting yang diperintahkan oleh Allah.”

Kedua, Mewujudkan Kasih Sayang dan Persaudaraan

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا (ال عمران [٣]: ١٠٣

“Dan ingatlah kalian akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah melembutkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat Allah kalian menjadi bersaudara;” (Q.S. Ali Imran [3]: 103)

Dengan hidup berjama’ah akan terwujud kasih sayang dan persaudaraan antara umat Islam sebagaimana yang dirasakan oleh para sahabat dari suku Aus dan Khazraj.

Sejarah mencatat pada masa Jahiliyah kedua suku itu selalu bermusuh-musuhan, bahkan sering terjadi peperangan di antara mereka. Tetapi setelah masuk Islam jadilah mereka bersaudara dan saling menyayangi.

Ketiga, Menyebabkan Turunnya Rahmat dan Berkah

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Celakala engkau sesungguhnya kebanyakan manusia itu memisahkan diri dari jamaah, sesungguhnya jama’ah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah.”

Dengan berjamaah dapat mempermudah kita dalam beribadah kepada Allah dengan begitu menyembabkan turunnya rahmat atau nikmat berupa kedamaian hidup dan keberkahan dari hartanya dan usianya.

Keempat, Bertempat Di Tengah-Tengah Surga

Rasulullah bersabda:

مَنْ أَرَادَ مِنْكُمْ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ (رواه الترمذي والحاكم وصححه

“Barangsiapa dari kalian menginginkan tinggal di tengah-tengah surga, maka hendaklah berpegang teguh kepada Al-Jama’ah karena setan bersama orang-orang yang sendirian dan dia dari dua orang lebih jauh.” (H.R. At-Tirmidzi dan Hakim menshahihkannya)

Kelima, Menyelamatkan Godaan Setan

Rasulullah bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذِئْبِ الْغَنَمِ يَأْخُذُ الشَّاذَّةَ وَالْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالشِّعَابَ وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَالْعَامَّةِ (رواه أحمد

“Sesungguhnya setan adalah serigala terhadap manusia, seperti serigala menerkam kambing yang terasing, menjauh dan menyisih. Maka janganlah kalian menempuh jalan sendiri dan hendaklah kalian berjama’ah dan berkumpul dengan orang banyak.” (H.R. Ahmad)

Dengan berjamaah kita dapat merealisasikan ibadah “Watawa saubil haq, watawa saubil saber watawa saubil marhamah” untuk saling nasihat menasihati dalam kebaikan dan kesabaran, dengan begitu dapat menyelamatkan dari godaan syaithan.


Artikel lainnya: 

4 KARAKTER YANG HARUS DIMILIKI OLEH PEMIMPIN

4 KARAKTER YANG HARUS DIMILIKI OLEH PEMIMPIN

Oleh: Irwan Amrullah



 

https://penahati-1307.blogspot.com/

Karakter yang harus dimiliki jika kamu sebagai pemimpin ada pada nabi kita Muhammad , ”sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Q.S Al Ahzab: 21)

Membicarakan masalah kepemimpinan, Islam telah memberikan rujukan yang pasti untuk umatnya. Didalam Al Qur’an atau hadits sebagai pedoman telah jelas di sebutkan, Rosulullah SAW adalah karakter terbaik pemimpin umat. Baik dalam memimpin Islam itu sendiri atau pun dalam hal memimpin suatu negri.

Sebagai pemimpin yang teladan, Nabi Muhammad SAW di karuniai oleh Allah SWT empat sifat utama yang patut di contoh oleh setiap muslim yang ingin menjadi pemimpin negri ini, yaitu: Shidiq, Amanah, Fathonah dan Tablig.


KARAKTER YANG PERTAMA

 

   Yang pertama yaitu shidiq artinya adalahorang yang selalu membuktikan ucapannya dengan tindakan atau orang yang selalu berbuat jujur. Di dalam Al Qur’an di sebutkan “Dan Ibunya (Maryam) adalah seorang shiddiqah”, (Q.S Al Midah: 75) maksudnya adalah orang yang selalu berbut jujur.

 

Kejujuran adalah syarat utama bagi seorang pemimpin, masyarakat akan memiliki rasa hormat kepada pemimpin apabila dia di ketahui dan juga terbukti memiliki kualitas kejujuran yang tinggi. Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkataannya dan perkataannya adalah cerminan dari hatinya.

 

Nabi SAW disifati dengan Ash Shadiqul Amin yang berarti jujur dan terpercaya. Sifat itu telah di ketahui oleh orang-orang Qurasy sebelum diutus menjadi Rasul.

 

Demikian pula dengan Nabi Yusuf AS yang disifati dengannya, sebagaimana dalam firmanNya: “(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), Yusuf, hai orang yang amat di percaya”. (Q.S Yusuf: 46)

 

Khalifah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu juga mendapat julukan Ash Shidiq ini menunjukkan bahwa kejujuran merupakan salah satu perilaku kehidupan yang harus di miliki oleh siapapun terutama bagi para pemimpin agama ataupun pemimpin suatu negri.

 

Allah pun memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar senantiasa bersama orang-orang yang jujur. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.” (QS At Taubah: 119)

 

Rasulullah pun bersabda mengenai pentingnya kejujuran:

“Jauhilah dusta karena dusta akan membawa pada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasaknlah berkata jujur karena jujur akan membawamu pada kebajikan dan kebajikan akan membawamu ke surge”. (HR Bukhari dan Muslim)


KARAKTER YANG KE DUA

 

    Yang kedua yaitu Amanah atau terpercaya. Amanah juga wajib dimiliki oleh pemimpin. Dengan memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat diserahkan diatas pundaknya. Kepercayaan masyarakat berupa penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahtan bersama.

 

Terjadi banyaknya kasus korupsi di negri ini, merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia miskin pemimpin yang amanah. Para pemimpin mulai dari tingkat desa sampai Negara telah terbiasa mengkhianati kepercayaan masyarakat dengan cara memanfaatkan jabatan sebagai jalan pintas  untuk memperkaya diri.


KARAKTER YANG KE TIGA

 

    Yang ketiga yaitu Fathonah yang berarti cerdas. Kecerdasan seorang pemimpin sangat lah penting, maka dari itu seorng pemimpin yang baik harus memiliki tingkat kecerdasan yang melebihi dari masyarakatnya.

 

Problema akan menjadi makanan sehari-hari bagi seorang pemimpin, dengan kecerdasannya ia akan mampu memberikan solusi yang terbaik dan tidak akan mudah frustasi atau putus asa.

 

     Contoh kecerdasan yang luar biasa juga dimiliki oleh Sayyidina Umar Bin Khaththab, yitu ketika beliau menerima khabar bahwa pasukan muslimin yang dipimpin oleh Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang sedang bertugas di Syriaterkena wabah mematikan. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar bin Khaththab langsung berangkat dari Madinah menuju Syria. Ketika sampai di perbatasan, ada khabar bahwa di tempat pasukan keadaan sudah semakin gawat, semua orang yang masuk ke wilayah tersebut akan terken virus mematikan.

 

Umr bin Khaththab pun segera mengambil tindakan untuk mengalihkan perjalanan. Ketika ditanya tentang sikapnya yang tidak konsisten Beliapun menjawab: “Saya berpaling dari satu takdir Allah untuk takdir yang lain.”

 

Pemimpin yang cerdas akan selalu haus tentang ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuanlah dia akan mendapat derajat yang tinggi di mata manusia dan Sang Pencipta.

 

Sebagaimna firman Allah dalam surat Al Mujadalah: 11 “Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat.”


KARAKTER YANG KE EMPAT

 

    Yang keempat Tablig atau komunikatif, pemimpin sejati adalah pemimpin yang juga memiliki sifat ini. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda mati yang bias digerakkan dan bias dipindah-pindah sesuai kemuannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan rakyat manusia yang memiliki beragam kecenderungan. Oleh karena itu Komunikasi yang baik merupakan kunci terjalinnya hubungan yang harmonis.

 

Salah satu ciri kekuatan Komunikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan kebenaran meskipun konsekuensinya berat. Seperti dalam hadits disebutkan“Qulil haqqu walau kaana murran” yang artinya katakanlah yang benar meskipun itu pahit”.

 

Tablig juga dapat diartikan sebagai akuntabel, atau terbuka untuk dinilai. Akuntabilitas merupakan bagian yang melekat dari kredibilitas. Sehingga bertambah baik dan benarnya akuntabilitas maka akan semakin bertambah pula tabungan kredibilitas sebagai hasil dari setoran kepercayaan orang-orang kepada para pemimpin.

 

   Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2019 nanti, hendaknya masyarakat bias cerdas dalam memilih calon pemimpinnya. Apalagi mayoritas penduduknya adalah muslim, muslim harus tau kriteria pemimpin yang baik pula.

Oleh karena itu, sudah jelas apa yang ditunjukkan oleh Allah dan di contohkan oleh Rosulullah SAW.

 

Sebagai seorang muslim yang baik hendaknya dapat memilih para pemimpinnya sesuai yang Allah tunjukkan dan memiliki sifat yang sesuai dengan Rasulullah SAW, agar tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera, terjalin hubungan yang harmonis antara pemimpin dengan rakyatnya dan negri ini menjadi negri yang baik (baldatun thayyibah). Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya. Aamiin ya Rabbal’alamiin.

 

 

                                                                  Wallahu A'lam

 

 

 

 

29-11-2022                                                                                                                      PenaHati



  


Hadits Maudhu_Derajat Hadits Maudhu’ serta Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu

 

https://penahati-1307.blogspot.com/

Pengertian Hadits Maudhu

Kata Maudhu’ berasal dari akar kata موضوع, فهو, وضعا,  يضع,وضع   yang artinya diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat. Dalam istilah, ulama hadits mendefinisikan Maudhu’ sebagai :

مَا نُسِبَ ٳل الرّ سول الله عليه وسلّم اِ خْتِلَا قا وكَذبأ ممّا لمْ يَقُلّهُ ٵو يَفْعَلُه ٵو يَقْرُهُ

"Sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak disetujuinya."

هوالمُخْتَلقُ المَصْنُوْعُ المُكْذ و بُ عل رسول الله  صل عليه وسلم

"Hadits yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang (pendusta) yang ciptan ini dinisbatkan kepada Rasulullah."

Dari definisi diatas menurut kami hadits Maudhu’ itu sebenarnya bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah, hanya saja dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong.

Jadi hadits Maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat, bukan dasarkan pada perkataan atau perbuatan atau takrir Rasulullah SAW. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang tidak memasukannya bagian dari hadits dha’if  karena ia bukan hadits dalam arti yang sebenarnya dan ada juga yang memasukannya.

Derajat Hadits Maudhu’ dan Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu

Hadits maudhu' merupakan hadits yang paling rendah dan paling buruk. Meriwayatkan hadits maudhu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena khawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak mengetahui kepalsuannya.

Hadits maudhu’ banyak terdapat dalam kitab Ar-Raqaiq (kehalusan hati), At-Tarhib wa At-Targhib. Mengamalkan hadits maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadhail Al-A’mal.

 

Mengamalkan hadits maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.

من حدّ ث عنّي بِحَدِ يْثٍ يُرَى اَنّهُ كَذِبٌ فَهُوَاَحَدُ الْكَا ذِبِيْنَ

barangsiapa yang menceritakan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia termasuk para pendusta.” (HR. Muslim)

Latar Belakang Lahirnya Hadits Maudhu’

Ahmad Amin berpendapat bahwa asal mula sejarah munculnya hadits Maudhu adalah pada masa Rasul, karena pendustaan terhadap beliau. Inilah yang melatarbelakangi timbulnya sabda beliau :

من كذب علي متعمدا فليتبوٵ مقعده من النا ر

“Barang siapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap tinggal dineraka.”

Adapun Dr. Akram Al-Umari berpendapat bahwa pemalsuan hadits sudah dimulai sejak pertengahan  kedua masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Pendapat ini didasarkan pada kemunculan hadits Maudhu’ ketika itu seperti yang dikatakan oleh Abu Tsaur Al-Fahmi.

Menurut Al-Syaikh Abu Syuhbah

Kemudian Al-Syaikh Abu Syuhbah menyebutkan bahwa hadits Maudhu’ pertama kali muncul sekitar tahun 40 Hijriyah, yakni ketika musuh-musuh Islam dari kalangan munafiq zindiq dan Yahudi berusaha merusak tatanan Islam.

Awal terjadinya hadits Maudhu’ dalam sejarah munculnya setelah terjadi konflik antara elit politik dan antara dua pendukung Ali dan Mu’awiyyah, umat Islam menjadai terpecah menjadi 3 kelompok, yaitu Syi’ah, Khwarij, dan Jumhur Muslimin atau sunni.

Pemalsuan Hadits Pertama Kali

Pemalsuan hadits pertama kali ini dilakukan oleh kaum Syi’ah yang menjadi lingkungan yang pertama kali tempat timbulnya pemalsuan ini. Dalam hal ini, al-Zuhri pernah mengatakan bahwa “ Hadits keluar dari kita sejengkal, kemudian kembali kepada kita dari Irak sehasta.” Malik menamakan Irak “Dar al-Dlarb” (negeri pencetak) karena disana mereka mencetak hadits lalu dikeluarkan untuk masyarakat, sama seperti orang mencetak uang dan dikeluarkan untuk jual-beli.

Mereka mencoba menta’wilkan dan memberikan interpretasi yang terkadang tidak layak. Mayoritas faktor penyebab timbulnya hadits Maudhu’ adalah karena tersebarnya bid’ah dan fitnah.

Hadits maudhu’ hanya ditimbulkan dari sebagian kelompok orang-orang bodoh yang bergelut dalam bidang politik atau mengikuti hawa nafsunya untuk menghalalkan segala cara.

Walaupun pada mulanya yang menyebabkan timbul pemalsuan hadits, urusan politik, namun sebab – sebab itu kian hari kian bertambah. Maka jika dikumpulkan sebab pemalsuan hadits itu terdapatlah dalam garis besarnya, sebagai dibawah ini:

  1.  persoalan politik dalam hal Khalifah. 
  2.  Zandaqah.
  3.  Ashabiyah. 
  4. Keinginan menarik minat para pendengar dengan jalan kisah–kisah pengajaran–penagajaran dan hikayat–hikayat yang menarik menakjubkan.
  5. Perselisihan paham dalam masalah fiqh dan masalah kalam.
  6. Pendapat yang membolehkan orang membuat hadits untuk kebaikan.
  7. Mendekatkan diri kepada pembesar-pembesar negeri.
  8. Tiadanya Pengetahuan Keagamaan, namun Berkeinginan Berbuat Baik.

Cara Mengetahui Hadits Maudhu’

Hadits Maudhu’ bisa dikenali dari tanda-tanda yang ada baik dari sanad maupun matannya, adapun tanda-tanda hadits maudhu’ dalam sanad yaitu :

1. Jika perawi itu adalah seorang pembohong yang diketahui oleh orang banyak tentang kebohongannya itu, tanpa seorang pun dari kalangan orang handal yang meriwayatkannya.

Para ulama akan memberi perhatian yang sangat besar untuk memgetahui para pembohong itu dan mereka akan mengikuti dengan cermat kebohongan itu untuk suatu hadits.

2. Adanya indikasi yang hampir sama dengan pengakuan. Misalnya, pengakuan Ma’mun bin Ahmad al-Halawi bahwa ia pernah mendengar dari Hisyam bin ‘Ammar, lalu ditanya oleh al-Hafidh Ibn Hibban “kapan engkau pergi ke Syiria?” dia menjawab : “ tahun dua ratus lima puluh”, lalu Ibnu Hibban berkata “ tapi Hisyam yang engkau mengaku meriwayatkan dari padanya itu telah mati tahun dua ratus empat puluh lima!”,

3. Perawi yang dikenal sebagai seorang pendusta meriwayatkan suatu hadits seorang diri, dan tidak ada perawi lain yang tsiqah yang meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukum palsu.

4. Diantara tanda hadits maudhu’ adalah hal yang ada dalam diri perawi dan dorongan-dorongan psikologismenya.

5. Pengakuan perawi akan kedustaannya, seperti yang telah dilakukan oleh Abd al-Karim ibn Abi al-‘Awja’ tentang pemalsuan empat ribu hadits yang tela ia lakukan untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Ini merupakan bukti terkuat mengenai kepalsuan hadits.

Sedangkan Tanda-Tanda Hadits Maudhu’ Bila Dilihat Dari Segi Matannya

1.      Kejanggalan redaksi yang diriwayatkannya, yang apabila dirasakan oleh pakar bahasa sangat tidak mungkin berasal dari seorang yang paling fasih berbahasa seperti Rasulullah, ini bila dalam riwayat tersebut dijelaskan oleh perawi yang bersangkutan berasal dari redaksi Nabi SAW. Sedangkan bila tidak dijelaskan, kejanggalan akan sangat terasa dalam maknanya.

2.      Kekacauan maknanya, misalnya ada hadits-hadits yang dapat dirasakan kedustaannya dengan perasaan atau akal sehat seperti juga kekasaran suatu hadits dan keberadaannya termasuk dijadikan pendukung suatu kebenaran tertentu.

3.      Bertentangan dengan teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah ataupun ijma’.

4.      Setiap hadits yang tidak sejalan dengan realitas sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW atau disertai dengan sesuatu yang mengindikasikan ketidak benaran secara historis.

5.      Kesejalan hadits dengan aliran yang dianut oleh perawinya, dimana perawi itu tergolong sangat ekstrim.

6.      Hadits itu menggambarkan hal besar yang seharusnya diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi diriwayatkan oleh satu orang saja.

7.      Hadits ini memuat balasan berlipat ganda atau suatu amal kecil, atau ancaman yang sangat berat atas suatu tindakan yang tak seberapa.

Tanda-Tanda Hadits Maudhu

Para ulama membagi tanda – tanda kemaudhu’an suatu hadits menjadi dua bagian:

Pertama, Tanda – tanda yang diperoleh pada sanad, dan Kedua, tanda – tanda yang diperoleh pada matan,

Tanda – Tanda Pada Matan:

1.      Keburukan susunannya dan keburukan lafadhnya.

2.      Kwrusakan maknanya.

3.      Menyalahi keterangan  Al-Qur’an yang terag tegas, keterangan sunnah Mutawatirah dan qaedah – qaedah kulliyah.

4.      Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi SAW.

5.      Sesuai hadits dengan madzhab yang dianut oleh rawi, sedang rawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada Madzhabnya.

6.      Mengandung (menerangkan) urusan yang menurut seharusnya, kalau dia, dinukilkan oleh orang ramai.

7.      Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar, terhadap suatu perbuatan yang kecil.

Tanda – Tanda Pada Sanad:

1.      Perawi itu terkenal pendusta dan tiada diriwayatkandits yang ia riwayatkan itu, oleh selainnya, yang kepercayaan.

2.      Pengakuan perwai sendiri.

3.      Kenyataan sejarah mereka tak mungkin bertemu.

4.      Keadaan perawi – perawi sendir serta pendorong – pendorog yang mendorongnya kepada membuat hadits.

AYAT-AYAT TENTANG AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

                                                               
https://penahati-1307.blogspot.com/2019/11/al-quds-di-dalam-hadist-masjid-al-aqsa.html

              
 A. LATAR BELAKANG 
    Islam menempatkan manusia itu tidak saja dalam dimensi individu, akan tetapi juga dalam dimensi sosial sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu tugas dan kewajiban syar’i disampaikan kepadanya secara bersama-sama. Inilah kewajiban atau syi’ar yang ada. Kewajiban ini merupakan pelindung bagi syi’ar-syi’ar lainnya. Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban bagi setiap orang yang merupakan keistimewaan untuk menegakkan syi’ar-syi’ar Islam.

B. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

   Menurut bahasa, amar ma’ruf nahi mungkar yaitu menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan, Amar: menyuruh, Ma’ruf : kebaikan, Nahi : mencegah, Mungkar : kejahatan. Ada beberapa pengertian mengenai amar ma’ruf nahi mungkar:

    Abul A’la al-Maududi menjelaskan: bahwa tujuan yang utama dari syariat ialah untuk membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatan-kejahatan. 

      Dalam bukunya, Maududi memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan ma’ruf dan munkar adalah sebagai berikut: Istilah ma’rufat (jamak dari makruf) itu menunjukkan semua kebaikan-kebaikan dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani manusia sebagai suatu yang baik, sebaliknya istilah munkarat (jamak dari munkar) menunjukkan semua dosa dan kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah di kutuk oleh watak manusia sebagai suatu hal yang jahat.[1]
1.      Dijelaskan dalam firman Allah Surat Ali Imran: 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
    Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104) 

Tafsirul mufrodat:
Al-Ummah: Golongan yang terdiri dari banyak individu yang antara mereka terdapat ikatan yang menghimpun, dan persatuan yang membuat mereka seperti berbagai organ dalam satu tubuh.

Al-Khairu: Sesuatu yang di dalamnya terkandung kebajikan bagi umat manusia dalam masalah agama dan duniawi.

Al-Ma’ruf: Apa yang dianggap baik oleh syariat dan akal. Dan kata munkar ialah lawan katanya.[2]
Penjelasan ahli-ahli tafsir mempunyai dua pendapat tentang sifat perintah atau unsur hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.

      Pendapat pertama mengatakan, bahwa hukum melaksanakan amar makruf nahi munkar ialah fardu kifayah, sebab di dalam ayat itu hanya diterangkan hendaklah kamu tergolong ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar.

    Pendapat kedua bahwa hukumnya ialah fardlu ain, yaitu wajib bagi setiap pribadi muslim dan muslimah, Orang yang diajak bicara dalam ayat ini ialah kaum mukmin seluruhnya. Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang melaksanakan kewajiban ini.

     Realisasinya adalah hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan hal ini, dan mengawasi perkembangannya dengan kemampuan optimal, sehingga bila mereka melihat kekeliruan atau penyimpangan dalam hal ini (amar makruf nahi munkar), mereka segera mengembalikannya ke jalan yang benar.

    Berdasarkan ayat di atas, maka perkataan “minkum” pada ayat tersebut adalah “mimbayaniyah” yang hanya menunjukkan tentang jenis yang dikenakan perintah itu. Maka berdasar atas pendapat itu, tiap-tiap orang, tiap-tiap pribadi, asal masuk dalam golongan ummat Islam mendapat perintah wajib melakukan amar makruf nahi munkar itu. [3]

    Penafsiran al-Maraghi dalam surat Ali Imran ayat 110, tentang fungsi dan kedudukan kaum muslimin dalam menghadapi tugas kemasyaratan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran : 110)
Tafsirul Mufrodat
Kuntum: kalian dijadikan dan diciptakan
Ukhrijat: Umat yang ditampakkan, sehingga membeda dan diketahui.
Penjelasan

    Di sini amar makruf nahi munkar penyebutannya didahulukan di banding iman kepada Allah, padahal iman itu selalu berada di depan dari berbagai jenis ketaatan. Hal ini lantaran amar makruf nahi munkar merupakan pintu keimanan dan yang memeliharanya. Jadi didahulukan keduanya hal tersebut dalam penuturan adalah sesuai dengan kebiasaan yang terjadi dikalangan umat manusia, yaitu menjadikan pintu berada di depan segala sesuatu. [4]
3.      Surat al-A’raf : 157
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
    (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Penjelasan
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
        Maksudnya, bahwa Nabi yang ummi itu hanya menyuruh yang baik-baik saja dan tidak melarang kecuali yang buruk, sebagaimana kata Abdu ‘l-lah bin Mas’ud, “apabila kamu mendengar firman Allah, ya ayyuha ‘l-ladzina amanu, maka pasanglah telingamu untuk mendengarkannya, karena firman (yang didahului dengan, ya ayyuha ‘l-ladzina amanu, penjelasan itu memuat kebaikan yang kamu di suruh melakukannya, atau keburukan yang dilarang mengerjakannya”.

    Dan perintah Nabi Muhammad SAW, yang terpenting diantaranya ialah suruhan untuk beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukan Dia dengan yang lain. Adapun larangannya yang terpenting adalah larangan yang menyembah selain Allah, dan memang demikianlah ajaran semua Rasul yang pernah di utus Allah dan soal ibadah. [5]
4.      Surat Luqman : 17
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Tafsirannya :
Lafadz:                                                                                                                                  وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
Dan perintahkanlah orang lain supaya membersihkan dirinya, sebatas kemampuan. Maksudnya, supaya jiwanya menjadi suci dan demi untuk mencapai keberuntungan.
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
    Dan cegahlah manusia dari semua perbuatan durhaka terhadap Allah, dan dari mengerjakan larangan-larangan-Nya yang membinasakan pelakunya, serta menjerumuskannya ke dalam adzab neraka yang apinya menyala-nyala, yaitu neraka jahanam, dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka jahanam. [6]
5.      Surat al-Hajj: 41, al-Maraghi tentang kewajiban amar makruf nahi munkar.
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ(الـحج :41)
 (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Penjelasannya :

    Orang-orang yang diusir dari kampung halamannya ialah orang-orang yang apabila kami meneguhkan kedudukan mereka di dalam negeri, lalu mengalahkan kaum musyrikin, lalu mereka taat kepada Allah, mendirikan sholat, seperti yang diperintahkan kepada mereka, mengeluarkan zakat, menyuruh orang untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh syariat dan melarang melakukan kemusyrikan, serta kejahatan.

    Kemudian Allah menjanjikan akan meninggikan apakah dia akan membalasnya dengan pahala ataukah dengan siksa di akhirat. [7]
6.      Surat at-Taubah : 112, tentang sifat orang yang beriman:

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
    Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.

    Surat at-Taubah ada penjelasan tentang sifat-sifat orang yang beriman atau orang-orang mukmin yang sempurna imannya yang mana Allah telah memberi (menukar) diri dan harta mereka dengan surga.

    Ayat di atas menafsirkan al amiruna bil ma’ruf, wa a-nahuna ‘ani al-munkar = orang-orang yang mengajak kepada keimanan dengan segala akibatnya, dan orang-orang yang mencegah dari kemusyrikan dengan segala akibatnya. [8]
7.      Surat Ali Imron : 114
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
Penjelasan :
Dalam kitab tafsir al-Maraghi jilid 10
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
     Ayat ini, Allah menyifati kaum mukminin dengan lima sifat yang sama sekali berlawanan dengan sifat kaum munafik, yaitu :
1. Mereka menyuruh melakukan perbuatan yang makruf, sedangkan kaum munafik menyuruh perbuatan yang munkar.
2. Mereka mencegah melakukan perbuatan yang munkar, sedangkan kaum munafik mencegah melakukan perbuatan yang makruf.
Kedua sifat ini merupakan pagar segala keutamaan dan benteng penghalang tersebarnya segala keburukan.
3. Mereka melaksanakan shalat dengan sebaik dan sempurna mungkin dengan khusu’, tapi orang-orang munafik jika melaksanakan shalat dengan bermalas-malasan dan ruja’ terhadap manusia.
4. Mereka mengeluarkan zakat yang diwajibkan atas mereka dan sedekah tathawwu’ (sukarela) yang mereka di berkati untuk itu, tetapi orang munafik sebaliknya.
5. Mereka terus melaksanakan ketaatan, dengan meninggalkan larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya menurut kemampuan mereka, tetapi orang-orang munafik malah sebaliknya. [9]
Penafsiran Surat Ali Imran: 144 (dalam tafsir Ibnu Katsir I)

       Dijelaskan: “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh”. Mereka itulah yang disebut dalam firman Allah, “dan sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah”. [10]
8.      Surat at-Taubah : 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

                                                    C.  DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup (3), Penerbit Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1981, hlm. 30-31
[2] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tarjamah Tafsir al-Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang, 1987, jilid IV, hlm. 31-32
[3] M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup (3), hlm. 32-3
[4] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tarjamah Tafsir al-Maraghi, hlm. 4
[5] Ibid., jilid 9, hlm. 148
[6] Ibid., hlm. 45
[7] Ibid., hlm. 44
[8] Ibid., jilid II, hlm. 4
[9] Ibid., hlm. 270-271
[10] Muh. Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir I, Gema Insani, Jakarta, 1999, hlm. 571


                                                                Wallahu A'lam


09. November. 2022                                                                                                       PenaHati


Artikel Lainnya:

Gaza Palestina Dalam Alquran

Jurnalistik dan Kehumasan