Perang Yom Kippur terjadi pada
tanggal 6 Oktober 1973, di mana koalisi Mesir dan Suriah menyerang Israel pada
hari raya Yahudi Yom Kippur, yang merupakan hari raya paling suci di kalender
Yahudi. Serangan tersebut dilakukan untuk merebut kembali wilayah yang direbut
oleh Israel dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967.
Pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadan bagi ummat Islam sehingga dinamakan "Perang Ramadan 1973", Suriah, Libya dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Di Dataran Tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.
Mesir mengambil pelajaran pada
Perang Enam Hari pada tahun 1967 tentang lemahnya pertahanan udara sehingga
saat itu 3/4 kekuatan udara Mesir hancur total sementara Suriah masih dapat
memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat tempur Mesir masih banyak
menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir akhirnya menerapkan
strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara
bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Angkatan udara Israel akhirnya
kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban karena berusaha menembus
"jaring-jaring" pertahanan udara itu.
Awalnya, serangan itu berhasil
mengejutkan Israel dan menimbulkan kerugian yang signifikan. Namun, setelah
beberapa hari, Israel berhasil membalikkan keadaan dan memperoleh kemenangan
yang menentukan. Selama konflik, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam
upaya mediasi, yang pada akhirnya menghasilkan gencatan senjata pada tanggal 25
Oktober 1973.
Perang Yom Kippur dianggap sebagai
salah satu perang yang paling berdarah dan paling mematikan dalam sejarah Timur
Tengah, dengan perkiraan jumlah korban tewas mencapai sekitar 8.000-10.000
orang. Perang ini juga membawa dampak besar pada politik dan keamanan Timur
Tengah, termasuk meningkatkan ketegangan antara Israel dan negara-negara
tetangganya serta memperkuat peran OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor
Minyak) dalam politik dunia dan ekonomi global.
Perjanjian Damai Camp David
Setelah perang, terjadi upaya-upaya
damai dan perundingan antara Israel dan negara-negara tetangganya, yang akhirnya
menghasilkan Perjanjian Damai Camp David pada tahun 1979 antara Israel dan
Mesir serta Perjanjian Damai Wye River pada tahun 1998 antara Israel dan
Yordania.
Pada tahun 1978, Amerika Serikat
memfasilitasi perundingan damai antara Israel dan Mesir, yang menghasilkan
Perjanjian Damai Camp David pada tahun 1979. Perjanjian ini menetapkan
perdamaian antara Israel dan Mesir, termasuk pemulihan wilayah Sinai yang
direbut oleh Israel dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967.
Namun, usaha-usaha damai selanjutnya
tidak selalu berhasil. Pada tahun 1982, Israel menyerbu Lebanon untuk mengusir
kelompok militan Palestina dan mendukung kelompok Kristen Lebanon, namun
tindakan ini justru memperburuk keadaan di kawasan tersebut. Konflik
Israel-Palestina juga tetap berlanjut, dengan terjadinya Intifada Palestina
pada tahun 1987 dan 2000.
Peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa perang Yom Kippur tidak hanya berdampak pada masa lalu,
tetapi juga berpengaruh pada masa sekarang dan masa depan Timur Tengah. Hingga
saat ini, konflik dan ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab masih
terus berlangsung dan menjadi isu global yang penting.
Pasca Perjanjian Damai Camp David
Perjanjian Damai Camp David pada
tahun 1979 adalah sebuah perjanjian damai antara Israel dan Mesir yang dicapai
melalui mediasi Amerika Serikat. Perjanjian ini menetapkan perdamaian antara
kedua negara dan memulihkan wilayah Sinai yang dikuasai oleh Israel dalam
Perang Enam Hari pada tahun 1967 kepada Mesir.
Dalam perjanjian ini, Mesir mengakui
keberadaan Israel dan memutuskan hubungan dengan negara-negara Arab yang tidak
mengakui Israel. Sebagai imbalannya, Israel menarik pasukannya dari Sinai dan
menyerahkan kendali atas wilayah tersebut kepada Mesir.
Dalam perjanjian ini, Mesir
diuntungkan dengan mendapatkan kembali wilayahnya yang hilang, dan Israel
diuntungkan dengan mengurangi ancaman militer dari Mesir di sepanjang
perbatasannya. Namun, perjanjian ini juga menimbulkan kontroversi di kedua
belah pihak.
Di Mesir, perjanjian ini mendapat
kritik dari kalangan nasionalis yang menentang pengakuan terhadap Israel dan
penyerahan wilayah Sinai. Mereka menganggap perjanjian ini sebagai
pengkhianatan terhadap nasionalisme dan integritas wilayah Mesir.
Di Israel, perjanjian ini juga
mendapat kritik dari kalangan nasionalis dan sayap kanan yang menentang
pengembalian wilayah tanpa jaminan keamanan yang memadai. Namun, secara umum
perjanjian ini diterima oleh masyarakat Israel karena mengurangi ancaman
militer dari Mesir.
Secara keseluruhan, perjanjian CampDavid dianggap sebagai langkah penting dalam upaya mencapai perdamaian di Timur
Tengah, meskipun konflik antara Israel dan negara-negara Arab tetap berlanjut.
Perjanjian ini memberikan manfaat bagi kedua belah pihak, namun juga
menimbulkan kontroversi dan perdebatan di masyarakat.
Pasca perang Yom Kippur, situasi
politik dan keamanan di Timur Tengah tetap tidak stabil. Israel terus berusaha
mempertahankan keamanan dan memperluas wilayahnya, sementara negara-negara Arab
tetap bersikeras untuk mengembalikan wilayah yang direbut oleh Israel.
Kenapa Israel Bisa Menang DalamPerang Yonkipur
Israel berhasil memenangkan Perang
Yom Kippur (atau disebut juga Perang Oktober) pada tahun 1973 melalui sejumlah
faktor strategis dan taktis yang dimilikinya. Beberapa faktor tersebut antara
lain:
1. Persenjataan yang lebih baik
Israel memiliki persenjataan yang
lebih baik dan lebih modern dibandingkan dengan negara-negara Arab pada saat
itu. Israel memiliki teknologi canggih seperti tank Merkava dan jet tempur F-4
Phantom yang membantu memperkuat pertahanannya.
2. Kesiapan militer
Israel juga mempersiapkan diri
secara matang sebelum perang terjadi. Mereka melakukan pelatihan intensif dan
meningkatkan kesiapan militer pada saat-saat kritis menjelang perang.
3. Intelijen yang lebih baik
Israel memiliki intelijen yang
sangat baik yang memungkinkan mereka untuk mengetahui rencana serangan
negara-negara Arab sebelum perang dimulai.
4. Keunggulan strategis
Israel memiliki keunggulan strategis
karena wilayahnya yang sempit, memungkinkan mereka untuk memusatkan kekuatan
pertahanan mereka di garis depan, sehingga dapat memperlambat serangan musuh.
5. Dukungan internasional
Israel juga mendapatkan dukungan
internasional, terutama dari Amerika Serikat. Amerika Serikat memberikan
bantuan militer kepada Israel selama perang berlangsung.
Meskipun demikian, Israel juga
mengalami kerugian dalam perang tersebut, termasuk kehilangan sejumlah wilayah
dan jumlah korban yang cukup besar. Meskipun demikian, Israel berhasil
mempertahankan eksistensinya sebagai negara dan memperkuat kepercayaan dirinya
sebagai negara yang dapat melindungi diri sendiri.
Perang Yom Kippur terjadi antara Israel dan koalisi negara-negara Arab, yaitu Mesir dan Suriah. Pada saat perang berlangsung, warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah pendudukan Israel. Sebagian besar warga Palestina tetap tinggal di tempat tinggal mereka selama perang berlangsung.
Berdampak Pada Warga Palestina
Perang Yom Kippur ini juga berdampak pada warga
Palestina di wilayah tersebut. Selama perang, Israel melakukan tindakan militer
dan penangkapan terhadap sejumlah warga Palestina yang diduga terlibat dalam
kegiatan teroris atau memusuhi Israel.
Selain itu, wilayah Tepi Barat dan
Jalur Gaza juga mengalami berbagai kendala, seperti terputusnya pasokan listrik
dan air, dan penutupan jalur perbatasan oleh Israel.
Dampak Jangka Panjang
Dampak jangka panjang dari perang
ini ialah pada kehidupan warga Palestina di wilayah tersebut. Perang
ini memberikan pengaruh pada tumbuhnya gerakan kebangkitan nasional Palestina
yang menginginkan pembebasan wilayah mereka dari pendudukan Israel, sehingga
konflik antara Israel dan Palestina semakin meningkat hingga saat ini.
Perang Yom Kippur pada tahun 1973
sebenarnya terjadi antara Israel dan koalisi negara-negara Arab, yaitu Mesir
dan Suriah, sehingga warga Palestina tidak secara langsung terlibat dalam
konflik tersebut. Namun, dampak perang ini secara tidak langsung juga berdampak
pada kehidupan warga Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang saat
itu berada di bawah pendudukan Israel.
Perang Yom Kippur Memperburuk Kondisi Kehidupan Warga Palestina
Perang ini memperburuk kondisi
kehidupan warga Palestina di wilayah tersebut. Selama perang, Israel
meningkatkan kontrol dan penindasan terhadap warga Palestina di wilayah
pendudukan mereka.
Pasokan air dan listrik pun terputus
dan ekonomi di wilayah tersebut mengalami penurunan drastis, sehingga warga
Palestina juga terdampak secara ekonomi. Selain itu, perang ini juga
meningkatkan ketegangan antara Israel dan Palestina, yang berdampak pada
konflik yang masih berlangsung hingga saat ini.
Perang Yom Kippur Juga Memperkuat Posisi Israel
Dalam jangka panjang, perang Yom
Kippur juga memperkuat posisi Israel sebagai negara yang menguasai
wilayah-wilayah Palestina, sehingga warga Palestina terus mengalami
diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembangunan pemukiman
Israel di wilayah mereka dan pembatasan gerak mereka di wilayah pendudukan. Hal
ini juga menjadi salah satu pemicu dari konflik antara Israel dan Palestina
hingga saat ini. Wallau A'lam