Memilih Calaon Pasangan Hidup Dalam PandanganIslam Berdasarkan Al Quran dan Sunnah
Pernah, ada
orang bertanya kepada Al-Hasan r.a. mengenai calon suami putrinya. Kemudian
Al-Hasan r.a. menjawab, “Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat
beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Dan jika
dia kurang menyukai (memarahinya), dia tidak akan menghinakannya.”
Abu Hurairah mengabarkan
bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ
تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk
meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan
wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di
bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam
Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Dalam Hadist
Kemudian ada
yang bertanya,“Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai
(cacat atau kekurangan-kekurangan)?”
Maka, Rasulullah
ﷺ. menjawab, (mengulangnya tiga kali) “Jika datang kepada kalian
orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)!”
(HR Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al Mazni).
Ucapan
Rasulullah ﷺ dalam hadits di atas ditujukan
kepada para wali, إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ
yakni bila seorang lelaki meminta kepada kalian agar menikahkannya dengan
wanita yang merupakan anak atau kerabat kalian, sementara lelaki tersebut
kalian pandang baik sisi agama, akhlak dan pergaulannya, maka nikahkanlah dia
dengan wanita kalian.
Ridhai Agama dan Akhlaknya
إِلاَّ تَفْعَلُوا yakni bila kalian tidak
menikahkan orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya tersebut dengan wanita
kalian, malah lebih menyukai lelaki yang meminang wanita kalian adalah orang
yang punya kedudukan/kalangan ningrat, memiliki ketampanan ataupun kekayaan,
niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.
Karena bila
kalian tidak mau menikahkan wanita kalian kecuali dengan lelaki yang berharta
atau punya kedudukan, bisa jadi banyak dari wanita kalian menjadi perawan tua
dan kalangan lelaki kalian menjadi bujang lapuk (lamarannya selalu ditolak
karena tidak berharta dan tidak punya kedudukan). Akibatnya banyak orang
terfitnah untuk berbuat zina dan bisa jadi memberi cela kepada para wali,
hingga berkobarlah fitnah dan kerusakan.
Dampak yang timbul kemudian adalah terputusnya nasab, sedikitnya kebaikan dan sedikit penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab An-Nikah, bab Ma Ja’a: Idza Ja’akum Man Tardhauna Dinahu Fa Zawwijuhu).
Kisah Nabi Musa a.s.
Para pendahulu
kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita-wanita yang di
bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan
kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang
wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka
kepada seorang yang shalih.
Seperti kisah Nabi Musa a.s. yang diberi tawaran oleh
seorang lelaki yang shalih di Negeri Madyan, untuk memilih salah satu dari dua
gadis untuk dijadikan istrinya, kisah tersebut diabadikan dalam Al Qur’an Surat
Al-Qasas.
قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ
عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ
وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ
الصّٰلِحِيْنَ
“Dia berkata, “Sesungguhnya
aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak
perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan
tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu
kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah
engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.” (QS. Al-Qasas Ayat 27)
قَالَ ذٰلِكَ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَۗ اَيَّمَا الْاَجَلَيْنِ قَضَيْتُ
فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّۗ وَاللّٰهُ عَلٰى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ
“Dia (Musa)
berkata, “Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua
waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan
(tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita
ucapkan.” (QS. Al-Qasas Ayat 28)
Kisah Umar ibnul Khaththab r.a.
Kisah seorang
sahabat Rasul yang terkenal kemuliaan dan ketegasan dan kedudukannya dalam
sejarah Umat Islam, yaitu ‘Umar ibnul Khaththab r.a. Ketika putrinya Hafshah menjanda
karena ditinggal mati suaminya (Khunais bin Hudzafah As-Sahmi) di Madinah,
‘Umar mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan r.a. yang belum lama ditimpa musibah dengan
meninggalnya istrinya, (Ruqayyah bintu Rasulullah), guna menawarkan putrinya
kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman
berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.” ‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika
bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku putuskan untuk tidak menikah dulu dalam
waktu-waktu ini.”
Karena ‘Utsman
telah memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun
menemui Abu Bakr Ash-Shiddiq dengan maksud yang sama, “Jika engkau mau, aku
akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu Bakr
diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat ‘Umar
marah.
Selang beberapa
hari, ternyata Rasulullah ﷺ meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut.
Ia pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah ﷺ
Setelah pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai
‘Umar dan berkata,
“Mungkin engkau
marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak berucap
sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab
Umar.
“Sebenarnya
tidak ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu
Rasulullah n pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak suka menyebarkan
rahasia Rasulullah n tersebut. Seandainya Rasulullah n tidak jadi meminang
Hafshah, aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR.
Al-Bukhari no. 5122)
Kisah Abdullah
ibnu Abi Wada’ah r.a.
Kisah Abdullah
ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul Musayyab yang
shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah dipinang oleh
Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun Sa’id enggan
menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih menawarkan putrinya
kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun sarat dengan ilmu
dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`, 4/233-234)
seorang ayah
diperingatkan agar memperhatikan orang yang beragama dan berakhlak bagus.
Akhlak yang bagus adalah sebagian tanda-tanda bagusnya agama seseorang. Tanda
ini lebih kuat daripada tanda lainnya, misal pengetahuan agama dan lingkungan.
Dua hal yang disebut terakhir ini menjadi pertimbangan pendukung mengenai agama
dan akhlak orang yang berniat menjadi suami.
Seorang ayah
bisa mencari pengetahuan mengenai laki-laki yang meminang anak gadisnya dengan
seksama sebelum mengambil keputusan. Antara lain, ia dapat menanyai orang yang
dekat dengan calon menantunya. Ia juga bisa menanyakan kepada orang-orang yang
dapat dipercaya (tsiqah).
Sebelum
membicarakan masalah lain, marilah kita renungkan peringatan Rasulullah Saw.
Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan
kekayaan laki-laki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah
pernikahan itu akan dibarakahi-Nya.”
Demikianlah
kisah-kisah orang soleh terdahulu yang memilihkan orang yang baik untuk
wanitanya, karena kebaikan agama dan ahklaknya, mereka yakin bahwa seorang yang
shalih bila mencintai istrinya ia akan memuliakannya. Namun bila tidak
mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali
mempersulit urusan pernikahan wanita mereka dengan seseorang yang baik agama
dan akhlaknya. Wallahu A'lam